Fay, di setiap lirik dan melodi serta rekaman lagu, ada yang namanya hak cipta. Tiap kali lagu kami dipasang, kami mendapatkan bayaran atas hak cipta itu, namanya royalti.
Royalti ini dikumpulkan oleh Lembaga Manajemen Kolektif (LMK). Nantinya, LMK akan mendistribusikan royalti ke para musisi yang musiknya dipakai. Sebagian royalti kami pun disisihkan untuk operasional LMK. Ini memang proses yang tak sempurna, tapi masih bisa didendangkan.
Namun tahun lalu, ada orkestrasi sumbang dari pemerintah, yang bikin kami, para musisi, kaget.
Lewat PP 56/2021, pemerintah membentuk LMK Nasional (LMKN) dan Sistem Informasi Lagu dan/Musik (SILM), yang lagi-lagi akan dibiayai royalti / hak kami.
Masalahnya, LMKN dan SILM ini bakal dikelola oleh perusahaan swasta yang dipilih secara tertutup sama pemerintah. Jadi, kami, para musisi, tidak dilibatkan dalam pembuatan keputusan yang mempengaruhi proses berkarya kami ini.
Itulah kenapa lewat petisi ini, saya dan Aliansi Musisi dan Pencipta Lagu Indonesia (AMPLI) meminta pemerintah agar membatalkan PP 56/2021, yang dampaknya juga memotong 30-40% royalti karya kami untuk membiayai sebuah lembaga yang gak jelas.
Kami yakin kalau Fay ikut tanda tangan dan sebarkan petisi ini, perubahan bisa dicapai. Karena, perlu sebuah gerakan bersama untuk membuat sebuah perubahan.
Perubahan aturan ini tak hanya akan membantu para musisi di masa kini, tapi juga generasi selanjutnya. Harmoni sumbang industri musik pun bisa kembali diaransemen, demi masa depan permusikan Indonesia.
Melly Goeslaw
Aliansi Musisi dan Pencipta Lagu Indonesia