Anak-anak ku diperkosa, aku dianggap punya gangguan jiwa.
Ini kisah nyata Lydia. Seorang Ibu di Luwu Timur, sebuah kabupaten di Sulawesi Selatan.
Pada suatu malam, Beliau menemukan anak sulungnya kesakitan. Hatinya hancur begitu mengetahui sang anak telah diperkosa oleh ayah kandungnya sendiri. Tragisnya, hal ini juga dialami oleh kedua anaknya yang lain.
Dengan membawa anak-anaknya, Beliau pergi ke kantor Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Dinas Sosial Luwu Timur. Alih-alih mendapat perlindungan, seorang petugas justru menghubungi terduga pelaku. Dengan dalih "sesama ASN", petugas ini justru mengabarkan ke terduga pelaku bahwa Lydia membuat pengaduan atas dugaan kasus pencabulan.
Tidak hanya itu, ketiga anaknya diperiksa secara psikologis oleh seorang petugas yang kemudian diketahui tidak memenuhi kualifikasi sebagai psikolog anak. Pemeriksaan itu menghasilkan klaim, ketiga anak Lydia tidak memperlihatkan tanda-tanda trauma.
Dengan penuh keberanian dan tanpa ada pendamping hukum, Lydia sendirian melaporkan kasus dugaan pencabulan ke Polres Luwu Timur. Setelah pelaporan itu, seorang petugas polisi wanita mengantarkan ketiga anaknya ke sebuah Puskesmas untuk visum, tanpa pendampingan.
Ketiga anak itu kemudian dimintai keterangan oleh penyidik berseragam, tanpa didampingi Lydia, penasihat hukum, pekerja sosial ataupun psikolog.
Namun, penyelidikan kasus tersebut dihentikan polisi. Alasannya, tidak cukup bukti. Tidak ditemukan tanda-tanda atau perbuatan seksual kepada anak melalui tes atau visum et repertum yang dilakukan polisi di Puskesmas Malili, Luwu Timur hingga RS Bhayangkara Makassar.
Mirisnya lagi, hasil asesmen oleh P2TP2A Luwu Timur, yang menunjukkan keberpihakan pada terduga pelaku, juga dijadikan dasar untuk menghentikan penyelidikan.
Bahkan anehnya Ibu korban yang notabene pelapor justru diperiksa kejiwaannya, alih-alih fokus mendalami bukti-bukti yang ada dan memberikan perlindungan. Hal ini semakin menegaskan prosesnya sejak awal tidak berpihak pada korban.
Kejanggalan dan ketidakadilan terus ada. Rentang waktu laporan dan penghentian penyelidikan cuma 63 hari. Ini sangat cepat dan tidak masuk akal. Apalagi ini kasus kekerasan seksual yang korbannya adalah anak. Kenapa prosesnya terburu-buru?
Kasus ini ditutup penyelidikanya, sementara ada bukti hasil asesmen psikolog yang diajukan oleh Penasehat Hukum korban yang menjelaskan bahwa para Anak Korban memang mengalami kekerasan seksual. Sehingga tidak ada lagi alasan untuk kasus ini tidak dilanjutkan.
Untuk itu, kami mendesak POLRI untuk membuka penyelidikan Kasus Pemerkosaan Anak di Luwu Timur.
Kami butuh bantuanmu, teman-teman. Suaramu sangat berharga! Mari kita kawal bersama kasus sampai tuntas dan jangan biarkan pelaku lolos dari hukum.
Salam,